Ikhlas Adalah Ruh nya Seluruh Amal Perbuatan

ikhlas ruh ibadah, al quran wanita

IKHLAS ADALAH RUH NYA IBADAH : AMAL PERBUATAN LAHIRIYAH ADALAH KERANGKA SEDANGKAN RUHNYA ADALAH IKHLAS YANG TERDAPAT SECARA TERSEMBUNYI DALAM AMALAN ITU.

Amal lahiriyah digambarkan sebagai batang tubuh sedangkan ikhlas digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan batang tubuh itu.

Seandainya kita kurang mendapat pengaruh yang baik dari latihan kejiwaan, hendaklah kita merenung dengan mendalam, apakah tubuh dan amal perbuatan dapat menunjukkan bahwa kita masih bernyawa atau tidak?

Hikmat 10 ini menghubungkan amal dengan ikhlas. Hikmat ke 9 (berbagai jenis amal adalah karena berbagai ahwal) yang lalu, telah menghubungkan amal dengan hal.

Kedua-dua Kalam Hikmat ini membangun jembatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas, kedua-duanya ada kaitan dengan hati, atau lebih tepat jika dikatakan ikhlas sebagai suasana hati dan hal sebagai Nur Ilahi yang menyinari hati yang ikhlas.

Ikhlas menjadi persiapan yang penting bagi hati untuk menyambut kedatangan cahaya Nur Ilahi. Apabila Allah swt berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya, maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut.

Nur yang dipancarkan kepada hati ini dinamakan Nur Sir atau Nur Rahasia Allah swt. Hati yang diterangi oleh nur akan merasakan hal ketuhanan atau mendapat tanda-tanda tentang Tuhan.

Setelah mendapat tanda dari Tuhan maka hati pun mengenal Tuhan.

Hati yang memiliki ciri atau sifat seperti ini dikatakan sebagai hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi.

Ikhlas dan Makrifat

Tuhan berfirman bagi menggambarkan ikhlas dan hubungannya dengan makrifat:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَن رَّأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ ۚ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ [١٢:٢٤]
“Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah ia tidak menyadari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami), untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan yang keji, karena sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa.” (Surah Yusuf : Ayat 24)

Nabi Yusuf as. adalah hamba Allah swt yang ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah swt.

Apabila dia dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur Rahasia Allah swt akan memancar di dalam hatinya sehingga dia menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah swt dan sekaligus meleburkan rangsangan jahat tadi.

Inilah tingkat ikhlas yang tertinggi yang dimiliki oleh orang arif dan dekat dengan Allah swt.

Mata hatinya senantiasa memandang kepada Allah swt, tidak pada dirinya dan perbuatannya.

Orang yang berada di dalam maqam ikhlas yang tertinggi ini senantiasa dalam keridhaan Allah swt, baik semasa beramal ataupun semasa diam.

Allah swt sendiri yang memeliharanya. Allah swt mengajarkan agar hamba-Nya berhubungan dengan-Nya dalam keadaan ikhlas.

هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ۗ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [٤٠:٦٥]
“Dia Yang Tetap Hidup; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah kamu akan Dia dengan mengikhlaskan amal agama kamu kepada-Nya semata-mata. Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan menguruskan sekalian alam.” (Surah al-Ghaafir : Ayat 65).

Allah swt jua Yang Hidup. Dia yang memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan seluruh alam. Apa saja yang ada di dalam alam ini adalah ciptaan-Nya.

Apa saja yang hidup adalah dihidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah swt adalah nikmat dan karunia, sementara jalan dari hamba kepada-Nya adalah ikhlas.

Hamba dituntut supaya mengikhlaskan seluruh sendi kehidupan untuk-Nya.

Totalitas dalam Keikhlasan

Dalam melaksanakan tuntutan agar mengikhlaskan kehidupan untuk Allah swt ini, hamba tidak boleh merasa takut dan gentar kepada sesama makhluk.

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [٤٠:١٤]
“Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya (dan menjauhi bawaan syirik), sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian).” (Surah al-Ghaafir : Ayat 14)

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ [١٦٣-٦:١٦٢]
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Surah al-An’aam : Ayat 162 – 163).

Allah swt telah menetapkan kode etik kehidupan yang perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas karena Allah swt, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan.

Keikhlasan yang diperjuangkan dalam kehidupan dunia ini akan terus dibawa bersama sampai menemui Tuhan kelak.

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ ۖ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ۚ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ [٧:٢٩]
“Katakanlah: ‘Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan betul pada tiap-tiap kali mengerjakan shalat, dan beribadahlah dengan mengikhlaskan amal agama kepada-Nya semata-mata; (karena) sebagaimana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya).” (Surah al-A’raaf : Ayat 29)

Sekali pun sulit mencapai tahapan ikhlas yang tertinggi, namun tetap harus diusahakan agar diperoleh keadaan hati yang ikhlas dalam segala perbuatan, baik perbuatan lahir maupun yang batin.

Orang yang di dalam hatinya telah tumbuh rasa kasih sayang Allah swt, akan berusaha membentuk hati yang ikhlas.

Mata hatinya melihat bahwa Allah jualah Tuhan Yang Maha Agung sedangkan dirinya hanyalah hamba yang hina.

Menguasai Hawa Nafsu

Hamba berkewajiban tunduk, patuh dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di dalam maqam ini beramal karena Allah swt, karena Allah swt yang memerintahkan supaya beramal,

karena Allah swt yang berhak ditaati,

karena perintah Allah swt wajib dilaksanakan,

karena pengabdian sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat karunia-Nya, semuanya adalah karena Allah swt dan bukan karena sesuatu yang lain.

Golongan ini sudah dapat menguasai hawa nafsu yang rendah dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping Allah swt. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal.

Dia gembira karena menjadi hamba Allah swt dimana beramal karena Allah swt. Dalam keadaan seperti ini, sifat kemanusiaannya masih mempengaruhi hatinya.

Setelah kejiwaannya meningkat, hatinya dikuasai sepenuhnya oleh perlakuan Allah swt, menjadi orang arif yang tidak lagi melihat kepada dirinya dan amalnya tetapi melihat Allah swt, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya.

Apa saja yang ada dengannya adalah anugerah Allah swt. Sabar, ridha, tawakal dan ikhlas bahwa yang ada dengannya semuanya merupakan anugerah Allah swt, bukan amal yang lahir dari kekuatan dirinya.

Tanpa Ikhlas amal laksana jasad tanpa Ruh

Tingkat ikhlas yang paling rendah ialah apabila amal perbuatan bersih dari riya’ yang jelas dan samar tetapi masih terikat dengan harapan pada pahala yang dijanjikan oleh Allah swt.

Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang masih kuat bersandar kepada amal, yaitu hamba yang mentaati Tuannya karena mengharapkan upah dari Tuannya itu.

Di bawah atau yang lebih rendah dari tingkatan ini tidak dinamakan ikhlas. Jika tanpa keikhlasan, maka seseorang beramal karena sesuatu muslihat keduniaan, mau dipuji, mau menutup kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam lagi muslihat yang rendah.

Orang dari golongan ini walaupun banyak melakukan amal perbuatan, namun amal perbuatan mereka adalah seperti tubuh yang tidak bernyawa, tidak dapat menolong tuannya dan di hadapan Tuhan nanti akan menjadi debu yang tidak mampu memberi syafaat kepada orang yang melakukannya.

Setiap orang yang beriman kepada Allah swt, harus mengusahakan adanya ikhlas pada amal perbuatannya, karena tanpa ikhlas maka syiriklah yang menyertai amal perbuatan tersebut, sebanyak dan sebesar ketiadaan ikhlas itu.

حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ [٢٢:٣١]
“(Amalkanlah perkara-perkara itu) dengan tulus ikhlas kepada Allah, serta tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Surah al-Hajj : Ayat 31)

وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ [١٠٦-١٠:١٠٥]
“Serta (diwajibkan kepada saya): ‘Hadapkanlah seluruh dirimu menuju (ke arah mengerjakan perintah-perintah) agama dengan betul dan ikhlas, dan janganlah engkau menjadi dari orang-orang musyrik’. Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan tidak juga dapat mendatangkan mudarat kepadamu. Oleh karena itu, seandainya engkau mengerjakan yang demikian, maka pada saat itu menjadilah engkau dari orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu).” (Surah Yunus : Ayat 105 – 106)

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ [٢٢:٣٧]
“Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan takwa dari kamu.” (Surah al-Hajj : Ayat 37)

Rasulullah saw bersabda,

مَنْ صَلَّي يُرَائِي فَقَدْ أَشْرَكَ وَمَنْ صَامَ يُرَائِي فَقَدْ أَشْرَكَ وَمَنْ تَصَدَقَ يُرَائِي فَقَدْ أَشْرَكَ (الحديث)
“Barangsiapa yang shalat karena riyak, sungguh dia telah syirik. Barangsiapa berpuasa karena riyak, sungguh dia telah syirik. Barangsiapa yang bersedekah karena riyak, sungguh dia telah syirik.” [HR Imam Ahmad, no. 16517]

Ikhlas adalah lawan dari syirik

Allah swt menyeru kepada manusia, supaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik sekaligus secara bersamaan.

Ikhlas adalah lawan dari syirik. Jika sesuatu amal itu dilakukan dengan anggapan bahwa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau mudarat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut.

Bila tidak ada ikhlas, maka akan ada syirik yaitu suatu amal yang ditujukan kepada sesuatu atau seseorang selain dari Allah swt.

Orang yang beramal tanpa ikhlas itu dipanggil orang yang zalim, walaupun pada lahirnya dia tidak menzalimi siapapun, namun dia menzalimi dirinya sendiri.

Diriwayatkan dari Abu Ali ad-Daqqaq;

الإخْلَاصِ التَّوَقِّي عَنْ مُلَاحَظَةِ الْخَلْقِ، وَالصِّدْقُ التَّنَقِّي عَنْ مُطَاوَعَةِ النَّفْسِ فَالْمُخْلِصُ لَا رِيَاءَ لَهُ وَالصَّادِقُ لَا إعْجَابَ لَهُ
“Ikhlas ialah memelihara diri dari ingin diperhatikan oleh makhluk.

Sedangkan shidiq (benar) itu ialah mensucikan diri dari memenuhi kehendak nafsu.

Orang yang ikhlas tidak ditemukan riyak di dalam dirinya dan orang yang shidiq tidak akan ditemukan adanya ujub dalam dirinya.” [Kitab al-Adzkar; Bab 1, Ikhlas disertai Niat Baik melakukan Amalan yang Tampak dan yang Tersembunyi].

Intisari dari ikhlas adalah melakukan sesuatu karena Allah swt semata-mata, tidak ada kepentingan lain.

Kepentingan diri sendiri merupakan musuh ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir dari nafsu.

Nafsu menginginkan kemewahan, kesenangan duniawi, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan sebagainya. Apa saja yang lahir dari nafsu itulah yang sering menghalangi atau merusak ikhlas.

Syarah Kitab Al Hikam oleh Prof.Ir.Agus Priyono di salin ulang untuk patriapurwakarta.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ahli Asbab dan Ahli Tajrid Syarah kitab Al Hikam

Menunda Amal Tanda Kebodohan

Mata Hati Yang Buta, Hijab Nafsu dan Hijab Akal